Abi Syaddad Blogspot

Pendidik, Pengajar dan Ilmu Pengetahuan

IDEALNYA setiap guru—dan setiap ustadz dan setiap dosen—tidak hanya mengajar pada waktu ia berdiri di depan kelas, tetapi juga mendidik.  Jadi di samping membimbing para siswa untuk menguasai sejumlah pengetahuan dan ketrampilan (mengajar), setogyanya guru juga membimbing siswa-siswanya mengembangkan segenap potensinya yang ada dalam diri mereka (mendidik).

    Masalahnya ialah bahwa mendidik ternyata tidak semudah mengajar.  Untuk dapat benar-benar mendidik, tidak cukup kalau guru hanya menguasai bahan pelajaran.  Ia harus tahu, nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada para siswa.  Guru harus tahu, sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan.  Dapatkah satu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada diri para siswa?  Dan kalau dapat, bagaimana caranya?

    Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang dipikirkan oleh setiap guru yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi perbuatan mendidik.  Dan ini bukan suatu hal yang mudah.  Inilah sebabnya, mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan diri mereka menjadi pendidik.  Mereka terpaku dalam melaksanakan aspek pengajaran dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari.  Dan kalau hal ini terjadi pada sebagian besar guru, maka hasil yang akan diperoleh ialah siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya.  Kalau ini sempat terjadi, maka kita menghadapi situasi yang cukup gawat.

    Ini semua tidak berarti, bahwa pekerjaan itu mudah.  Untuk dapat mengajar dengan baik diperlukan sikap tertentu.  Yaitu sikap gemar mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain.  Orang yang mudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.  Begitu juga orang yang selalu ingin menonjol, selalu ingin lebih tahu dari orang lain, juga tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.

    Di samping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk menjadi pengajar yang baik.  Antara lain ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematis, kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa.

    Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan ikhtiar dan waktu.  Tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh, akan mudah sekali bagi seorang guru untuk terjebak dalam perbuatan pamer pengetahuan ketika mereka berdiri di depan kelas.  Guru yang baik pun dapat sesekali terjatuh dalam kesalahan ini.  Ia sibuk di depan kelas, tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang diperlihatkan siswa-siswanya!  Menurut pengalaman saya, ini merupakan suatu hal yang mudah sekali terjadi dalam kehidupan seorang guru.

    Selama pamer pengetahuan ini terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya adalah kekaguman siswa, saya kira situasinya masih baik.  Tetapi apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan perbuatan yang disengaja, apabila guru memang sudah menyerah kepada keinginan untuk memamerkan kehebatan pengetahuannya, maka secara pedagogis yang kita hadapi ialah suatu situasi yang sangat tidak etis.  Yang kita hadapi dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa: kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka menghadapi guru.  Dalam hal ini dampak yang akan timbul bukan kekaguman, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru.  Sedihnya ialah bahwa nampaknya dalam masyarakat kita ada kelompok guru—atau ustadz atau dosen—yang justeru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa ini.  Ini sungguh suatu sikap yang tidak etis.  Menurut pendapat saya yang terjadi di sini bukan hanya suatu kesalahan pedagogis, melainkan suatu dosa pedagogis.

    Jadi apa yang perlu kita usahakan bersama ialah bahwa niat atau keinginan pamer pengetahuan ini benar-benar kita jauhkan dari diri kita semua.  Baik kita yang bekerja sebagai guru, ustadz, atau dosen, maupun kita yang berfungsi sebagai pembimbing di luar lingkungan pendidikan formal sebaiknya sama-sama berusaha untuk menjauhkan diri dari niat dan sikap pamer pengetahuan ini.  Hanyalah dengan sikap membimbing yang ikhlas, sikap membimbing yang sepi dari rasa ingin dikagumi, akan mungkin bagi guru untuk meningkatkan kegiatan pelayanannya ke taraf profesionalisme yang paling tinggi: mendidik.  Hanyalah dengan sikap seperti ini akan lahir tindakan mendidik yang jujur dan lurus, yang tidak membingungkan, tidak menakutkan dan tidak pula menyesatkan.

    Allahummaj’alnaa haadiina muhtadiin, ghaira dlalliinawalaa mudliiiin.  Ya Allah!  Jadikanlah kami pemimpin yang terpimpin, bukan yang sesat dan bukan pula yang menyesatkan.


Dikutip dari:
Mochtar Buchori, 1994.  Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan: dalam renungan.  Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya bekerjasama dengan IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. Halaman 30-32.

Khutbah Idul Adha

Berkorban Demi Tegaknya Islam

KHUTBAH IDUL ADHHA
BERKORBAN DEMI TEGAKNYA ISLAM
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر 9×
اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَإلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ، اللهُ اَكْبَرُ وِللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحَّدَنَا بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، مِنْ غَيْرِ الأُمَم، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ، اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ.
الَلَّهُمَّ صَلِّ وَاُسَلِّمُ عَلَى حَبِيْبِناَ المُصْطَفَى، الَّذِّي بَلَّغَ الرِّسَالَةْ، وَأَدَّى الأَمَانَةْ، وَنَصَحَ الأُمَّةْ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجاَهَدَ فِيْ اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ.
اَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ!
Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd
Kaum Muslim rahimakumullah:
Hari ini, umat Islam di seluruh dunia telah disatukan oleh Allah sebagai satu umat. Mereka merayakan hari Raya Idul Adhha bersama-sama sebagai umat Islam, bukan sebagai bangsa Arab, Afrika, Eropa, Amerika, Australia maupun Asia. Mereka merayakan hari agung dan suci ini sebagai satu umat, yang diikat oleh akidah yang sama, yaitu akidah Islam. Dan diatur dengan hukum yang sama, yaitu hukum Islam.
Namun sayangnya, kesatuan mereka sebagai umat ini hanya sesaat. Sebab, begitu mereka selesai mengerjakan shalat Idul Adhha, kesatuan itu pun sirna. 1,4 milyar umat Islam yang kini tengah merayakan Idul Adhha itu pun kembali menjadi buih, dan tidak berdaya menghadapi penistaan demi penistaan yang terus menghampiri mereka.
Lihatlah, untuk menjaga kehormatan dan kesucian Nabi Muhammad dan keluarga baginda, yang terus-menerus dihina dan dinistakan saja mereka tidak mampu. Paling-paling mereka hanya bisa mengutuk, mengecam, memprotes atau menuntut agar penguasa negeri kaum Muslim itu menyeret dan mengadili pelakunya. Tetapi, apakah seruan itu pernah didengarkan? Tentu saja tidak. Karena para penguasa mereka tidak pernah menjadi penjaga agama mereka. Tidak pernah menjadi pembela kehormatan Nabi mereka. Bahkan, menjadi penjaga wilayah mereka sendiri pun tidak. Sebaliknya, mereka malah bahu-membahu dengan kaum Kafir penjajah agar bisa menduduki dan menguras kekayaan alam negeri-negeri mereka.
Lihatlah, andai bukan karena bantuan para penguasa yang berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan seluruh umat Islam, tentu AS dan sekutunya tidak akan bisa menduduki Irak dan Afganistan. Israel juga tidak akan bisa terus-menerus mengangkangi tanah suci Palestina, yang diberkati oleh Allah. Pakistan juga tidak bisa diobrak-abrik dan diobok-obok oleh AS; sehingga AS, dengan leluasa menjalankan operasi penculikan dan pembunuhan orang-orang yang dianggap bisa mengancam eksistensinya. Allahu akbar.
Pertanyaannya, sampai kapan kondisi ini akan terus begini? Apa yang menyebabkan kondisi umat yang dinyatakan oleh Allah sebagai umat terbaik ini begitu menyedihkan?; sampai seluruh kehormatan mereka dinodai di depan mata mereka, siang dan malam, mereka pun tak kuasa membelanya.
Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd
Kaum Muslim rahimakumullah:
Kondisi ini sudah diisyaratkan oleh baginda Rasulullah saw. Dalam sabdanya, 14 abad yang lalu, baginda menyatakan:
«يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ، قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ، فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»
“Nyaris saja umat-umat itu mengerumuni kalian sebagaimana mereka mengerumi makanan di atas nampan. Ada yang bertanya, ‘Apakah karena jumlah kita yang saat itu memang sedikit?’ Baginda Nabi menjawab, ‘Tidak. Justru kalian ketika itu jumlahnya banyak, tetapi kalian ibaratnya seperti buih yang diombang-ambingkan gelombang. Allah benar-benar akan mencabut dari dada-dada musuh kalian perasaan segan terhadap diri kalian. Sementara Allah benar-benar akan tanamkan ke dalam benak kalian penyakit wahn.’ Ada yang bertanya, ‘Apakah penyakit wahn itu, wahai Rasulullah?’ Baginda menjawab, ‘Mencintai dunia, dan takut akan kematian.’” (H.r. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Penyakit wahn inilah yang menjangkiti umat Islam, sehingga mereka kehilangan haibah (wibawa), sebaliknya mereka justru menjadi penakut dan pengecut. Bandingkan dengan sikap generasi emas terdahulu, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sikap Khalid bin Walid terhadap Hurmuz:
«أَمَّا بَعْدُ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، وَأَعْقِدُ لِنَفْسِكَ وَلِقَوْمِكَ الذَِّمَّةَ، وَأُقَرِّرُ بِالْجِزْيَةِ، وَإِلاَّ فَلاَ تَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَكَ، فَقَدْ جِئْتُكَ بِقَوْمٍ يُحِبُّوْنَ الْمَوْتَ كَماَ تُحِبُّوْنَ الْحَيَاةَ»
“Amma ba’du, masuk Islamlah kamu, maka kamu pun akan selamat. Aku telah mengikatkan jaminan untuk dirimu dan kaummu. Aku juga telah menetapkan jizyah. Jika kamu tidak mau, maka jangan sekali-kali menyesal, kecuali meratapi dirimu sendiri. Aku sungguh telah membawa kepadamu suatu kaum yang lebih mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”
Allahu Akbar, itulah rahasia kekuatan dan haibah (wibawa) pasukan Khalid bin Walid, generasi emas yang pernah dilahirkan oleh baginda Rasulullah saw. Inti dari kekuatan mereka adalah kesediaan mereka untuk berkorban. Mengorbankan apa saja yang mereka miliki; harta, keluarga, bahkan jiwa dan raga mereka. Dengan pengorbanan itulah mereka begitu menikmati kematian, sebagaimana orang-orang Kafir menikmati kehidupan. Tidak ada rasa takut dan gentar sedikit pun.
Mengapa kematian itu begitu mereka rindukan? Karena, di sanalah mereka mendapatkan kebaikan di sisi Rabb-nya, jannah an-na’im (surga dengan segala kenikmatannya). Pandangan mereka nun jauh ke akhirat; pada surga dengan segala kenikmatannya, dan neraka dengan segala adzab dan siksanya, itulah yang menghidupkan hati mereka, yang membentuk ketakwaan dan ketaatan mereka kepada Allah SWT.
Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd
Kaum Muslim rahimakumullah:
Kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail —’alaihima as-salam— dihadirkan oleh Allah kepada kita untuk menjadi ibrah, bagaimana ketataan seorang Ibrahim dan Ismail kepada Tuhannya; yang membuat mereka dengan suka-rela mengorbankan milik mereka yang paling berharga. Ibrahim bersedia menyembelih putranya, sementara Ismail dengan rela, tanpa keberatan sedikit pun, bersedia disembelih oleh ayahandanya tercinta. Ini semua, dilakukan demi membuktikan ketaatan mereka kepada Tuhannya.
Apakah fragmen seperti ini hanya ada di dalam kisah-kisah al-Quran? Ataukah pernah ada dalam kehidupan nyata umat Islam? Ternyata, fragmen seperti itu juga telah ditunjukkan dalam kehidupan nyata umat terbaik ini. Adalah Muhaishah, sahabat Rasulullah saw. yang mengikuti perintah baginda untuk membunuh seorang Yahudi dalam sebuah peperangan. Yahudi yang dibunuhnya itu tak lain adalah pedagang yang biasa memberi pakaian kepadanya. Kakak Muhaishah, yang belum memeluk Islam, yaitu Huwaishah marah kepada Muhaishah, adiknya, seraya memukul dan menghardiknya, ”Apakah kamu membunuhnya? Demi Allah, makanan di dalam perutmu itu berasal dari hartanya.” Muhaishah pun menjawab, ”Demi Allah, sekiranya orang yang memerintahkan aku untuk membunuhnya, memerintahkan aku untuk membunuhmu, pasti aku akan penggal lehermu.” Huwaishah bertanya lagi dengan nada heran, ”Demi Allah, kalau Muhammad memerintahkan kamu membunuhku, kamu akan membunuhku?” Muhaishah menjawab dengan tegas, ”Benar.” Padahal, mereka adalah kakak-beradik. Allahu Akbar. Inilah manifestasi ketaatan yang mereka tunjukkan. Inilah ketaatan generasi emas para sahabat Rasulullah saw.
Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd
Kaum Muslim rahimakumullah:
Jika pada yaum Nahr (hari berkurban) ini, menyembelih hewan kurban di tanah suci bagi jamaah haji, pahalanya oleh Allah dihitung sebanyak tiap helai bulunya, maka bagaimana dengan pengorbanan total yang kita berikan kepada Allah sebagai manifestasi dari ketaatan kita dalam perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam?
Jika hari ini, jamaah haji yang tengah mengenakan pakaian ihram harus rela menahan sengatan panas matahari, sejak di Arafah, Muzdalifah sampai ke Mina, dengan keringat dan bau badan yang mengalir dari tubuh mereka, dan terhadap semuanya itu mereka dilarang untuk menutup kepala dan memakai wangi-wangian, karena kelak Allah akan membangkitkan mereka sebagai orang yang memenuhi panggilan-Nya (mulabbiyah). Jika karena ketaatannya, jamaah haji mendapatkan kemuliaan yang luar biasa, maka bagaimana dengan para pengemban dakwah, yang menghabiskan waktunya untuk berdakwah, berjalan di bawah terik matahari, siang-malam hidupnya untuk melakukan kontak dakwah, hari-harinya dihabiskan di perjalanan, hartanya pun habis dibelanjakan di jalan Allah, tentu mereka akan mendapatkan kemuliaan yang jauh luar biasa. Karena mereka bukan hanya menjalankan ketaatan untuk diri mereka sendiri, sebagaimana jamaah haji, tetapi ketaatan yang juga bisa ditebarkan kepada orang lain. Itulah kehidupan para pengemban dakwah. Pantaslah, jika karena jerih payahnya itu, apa yang mereka lakukan dinyatakan oleh Nabi lebih baik daripada terbitnya matahari dan bulan. Allahu Akbar 3x.
Inilah buah dari pengorbanan yang lahir dari ketaatan, ketakwaan dan pandangan jauh ke akhirat itu. Orang-orang yang taat ketika dipanggil oleh Allah, Rabb mereka, mereka pun menjawab:
«لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ»
”Hamba datang memenuhi panggilan-Mu. Ya Allah, hamba datang memenuhi panggilan-Mu. Hamba datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”
Bagi mereka, tidak ada kata lain, kecuali: Sami’na wa atha’na; kami dengar, dan kami taat. Mereka tidak lagi memilih-milih, karena tidak lagi ada pilihan bagi mereka di hadapan perintah dan larangan Allah, kecuali patuh. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً ﴿٣٦﴾
”Dan tidaklah layak bagi orang Mukmin laki-laki maupun bagi orang Mukmin perempuan, jika Allah dan rasul-Nyat telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.s. al-Ahzab [33]: 36)
Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd
Kaum Muslim rahimakumullah:
Marilah kita jujur, apakah sikap kita sudah seperti itu? Apakah kita telah memiliki ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya? Sudahkah kita mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya dalam setiap perintah dan larangan-Nya?
Ketika Allah memerintahkan kita shalat, kita segera melaksanakannya. Ketika memerintahkan kita berpuasa, kita juga segera melaksanakannya. Ketika kita dilarang memakan Babi, kita pun segera meninggalkannya. Lalu, mengapa ketika Allah memerintahkan kita untuk menerapkan hukum-hukum-Nya, kita abai? Mengapa ketika Allah memerintahkan kita melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan hukum-hukum-Nya, kita tidak menunaikannya? Begitu pun ketika Allah memerintahkan kita melaksanakan sistem pemerintahan berdasarkan hukum-hukum-Nya, kita tidak melaksanakannya? Bukankah kita tahu, bahwa hanya dengan hukum-hukum-Nya kehidupan kita akan menjadi lebih baik, dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat? Bukankah kita juga tahu, bahwa tanpa sistem pemerintahan Islam yang mampu mempersatukan umat, yakni Khilafah Islamiyah, umat ini menjadi lemah dan hina? Mereka tidak berdaya membela kehormatan mereka.
Mengapa dan mengapa, seruan-seruan Allah itu tidak segera dilaksanakan? Di manakah keataan total kita kepada Allah SWT, yang menciptakan kita, dan yang menghidupkan dan mematikan kita? Layak kah dengan sikap seperti itu kita mendambakan kemuliaan dan kehormatan. Layak kah dengan sikap seperti itu, kita menjadi umat yang disegani oleh kawan dan lawan? Bukankah dengan sikap seperti itu, kita justru telah menghinakan diri kita sendiri.
Lihatlah, kondisi politik, ekonomi, militer, sosial, budaya dan semua bidang kehidupan umat Islam saat ini. Semuanya dalam kondisi yang terpuruk. Kehidupan mereka dikuasai, dikontrol, disetir dan dijajah oleh musuh-musuh mereka. Kita hanya jadi pengekor yang tunduk dan patuh kepada orang-orang Kafir penjajah. Lihatlah, berapa ratus triliun rupiah telah dihabiskan untuk melaksanakan sistem demokrasi, yang nyatanya tidak membawa kebaikan bagi kehidupan mereka. Lihatlah ide-ide HAM, liberalisme, sekularisme, kapitalisme, dan segala isme-isme yang lain, yang jelas bertentangan dengan Islam, justru diterapkan oleh umat ini, karena mengekor orang-orang Kafir penjajah? Kita rela tunduk dan patuh kepada musuh Allah, Rasul-Nya dan orang Mukmin, sebaliknya rela mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya. Jadilah kita umat yang hina. Terpuruk dalam kenistaan, kemiskinan, dan kebodohan. Jadilah kita korban keserakahan mereka hingga nyawa pun tidak ada harganya. Nyawa umat Islam begitu murah. Justru ketika Nabi telah menitahkan dalam Haji Wada’:
«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ»
”Sesungguhnya darah kalian, harta dan kehormatan kalian adalah merupakan kemuliaan bagi kalian, sebagaimana kemuliaan hari ini, di bulan ini dan di negeri ini.”
Tapi, lihatlah apa yang terjadi di Palestina, Irak, Afghanistan, Kashmir, Moro, Pattani dan tempat lainnya menjadi bukti. Yang lebih menyedihkan lagi adalah kita masih tetap bergelimang dalam murka-Nya, karena dosa-dosa kita. Inilah kondisi terburuk umat Islam sepanjang sejarah.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Kaum Muslim rahimakumullah,
Marilah kita tengok kondisi kaum Muslim di dalam negeri. Di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, hanya tersisa banyaknya jumlah saja. Bagaimana mungkin kita bangga sebagai Muslim kalau melarang dan membubarkan Ahmadiyah yang jelas sesat dan kafir saja tidak bisa? Apa yang tersisa dari identitas Islam kita, kalau melarang pornografi dan pornoaksi saja tidak bisa? Orang menikah dengan cara yang sah diteriaki, dihujat dan dikriminalkan; sementara orang yang berzina dan kumpul kebo dibiarkan. Ketika anak gadis kecil menikah, dipersoalkan karena dianggap mengambil haknya sebagai anak, tetapi ketika seorang perempuan rela hidup serumah tanpa tali pernikahan, tidak pernah dikatakan dilanggar hak keperempuan, hak keisterian dan hak pernikahannya. Inilah paradok perjuangan para pejuang HAM dan aktivis feminis. Belum lagi problem kemaksiatan lain, seperti korupsi, pembunuhan tanpa hak, perjudian, narkoba, suap, pemurtadan, praktik ekonomi ribawi, politik oportunistik yang tumbuh sebagai kejahatan sistemik. Maksiat yang terbesar adalah ditinggalkannya syariah Islam sekaligus diterapkannya hukum Kufur hingga menjadikan semua kaum Muslim di negeri ini telah maksiat berjamaah. Seolah kita pun tidak takut lagi, bahwa fitnah itu akan menyapu bersih siapa pun yang hidup di negeri penuh maksiat ini, tanpa kecuali, sebagaimana yang diingatkan oleh Allah:
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢٥﴾
”Takutlah kalian terhadap fitnah yang sekali-kali tidak hanya akan menimpa orang yang zalim di antara kalian saja. Ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Keras siksa-Nya.” (Q.s. al-Anfal [08]: 25)
Allahu Akbar 3x walillahil hamd.
Kaum Muslim rahimakumullah.
Kita telah menyaksikan semuanya itu dengan mata kepala kita. Belum cukupkah semua keburukan dan kehinaan ini mendera kita? Masihkah kita berharap pada keburukan dan kehinaan lain yang lebih buruk lagi? Padahal Allah telah menjadikan kita umat paling mulia. Lalu di manakah kemuliaan kita sekarang?
Tidak ada lagi solusi bagi semua kehinaan dan kesengsaran kita itu, kecuali dengan kembali kepada Islam, dengan menerapkan Islam secara kaaffah. Itulah yang menjadi penentu kemuliaan kita, sebagiamana dahulu Rasulullah saw. dan para sahabatnya —radhiyallahu ’anhum— telah meraihnya. Demikian pula khulafaur rasyidin, dan generasi-generasi setelahnya.
Wahai kaum Muslim, kini Allah memanggil kita, menuntut ketaatan total kita kepada-Nya. Ketaatan itu menuntut kita untuk berkorban; mengorbankan apa saja yang kita miliki demi menggapai ridha-Nya. Hanya dengan pengorbanan demi ketaatan itulah, kita akan meraih kembali kemuliaan hidup kita, baik di dunia maupun di akhirat. Dan, itu semua, wahai kaum Muslim, hanya bisa diwujudkan jika hidup kita diatur dengan syariah-Nya di bawah naungan Khilafah Rasyidah ’ala Minhaj an-Nubuwwah.
Inilah saatnya kita berkorban. Tampil ke depan membawa panji-panji Islam. Berjuang dengan segenap daya dan kemampuan menyonsong kemengan yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hari ini kita diperintahkan berkurban, yang semestinya menjadi ibrah, dalam memberikan pengorbanan klita yang lain. Tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi, atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi. Ingatlah, wahai kaum Muslim, bahwa untuk itulah Nabi bersumpah tidak akan pernah mundur walau selangkan, sampai Islam menang atau baginda saw. binasa:
«وَاَللّهِ لَوْ وَضَعُوا الشّمْسَ فِي يَمِينِي، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ اللّهُ أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ مَا تَرَكْتُهُ».
”Demi Allah, andai saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan urusan (agama) ini, maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh Allah, atau aku binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meninggalkannya.” (Hr. Ibn Hisyam)
Karena itu pula, Rasulullah saw. tidak sekadar menyampaikan risalah, tetapi juga menerapkan risalah itu dalam kehidupan nyata, sehingga baginda dinobatkan sebagai Kepala Negara Islam pertama. Negara yang baginda wariskan itulah yang disebut sebagai Khilafah, dan kepala negaranya, disebut dengan Khulafa’ (jamak dari Khalifah). Namun sayang, negara itu kini telah tiada, setelah dihancurkan oleh kaum Kafir penjajah, Inggris dan sekutunya, bekerjasama dengan Kamal Attaturk, la’natu-Llah wa al-malaikah wa ar-Rasul wa an-nas ajma’in.
Padahal, dengan Khilafah itulah kaum Muslim pernah hidup mulia. Dunia pun aman, damai, dan sejahtera di bawah naungannya selama puluhan abad. Kini, setelah Khilafah tidak ada dan dunia tengah menghadapi krisis global, Khilafah pun menjadi kebutuhan mendesak bagi seluruh umat manusia. Karenanya, Khilafah bukan saja cita-cita perjuangan kaum Muslim, tetapi juga seluruh umat manusia. Di saat kapitalisme sudah berada di ujung tanduk, maka kembalinya Khilafah sudah di depan mata. Sekarang tinggal kita; apakah kita akan menjadi pejuang atau pecundang? Menjadi pejuang, atau sekadar menjadi penonton? Sesungguhnya, penerapan syariah dalam naungan Khilafah, merupakan kewajiban setiap Muslim, sekaligus merupakan wujud mengurbanan hakiki kita dalam meraih kemuliaan dan keridloan Allah SWT.
Akhirnya, marilah kita berdoa semoga Allah SWT memberi kita kesabaran dan kekompakan, serta memungkinkan kita berperan penting dalam upaya menegakkan dan memperjuangkan negara Khilafah.
اَللّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ والحمد لله رب العالمين.
اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا، أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ ،
اَللّهُمَّ يَا مُنْـزِلَ الْكِتَابِ وَمُجْرِيَ الْحِساَبِ وَمُحْزِمَ اْلأَحْزَابِ اِهْزِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ والَصَلِّيْبِيِّيْنَ الظَّالِمِيْنَ وَاَنْصَارَهُمْ وَالرَّأْسُمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَ اْلإِشْتِرَاكَيِّيْنَ وَالشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ وَنَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ تَحْرِيْرَ بِلاَدِ فَلَسْطِيْنِ وَاْلأَقْصَى، وَالْعِرَاقِ، وَالشَّيْشَانَ، وَأَفْغَانِسْتَانَ، وَسَائِرِ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ نُفُوْذِ الْكُفَّارِ الْغَاصِبِيْنَ وَالْمُسْتَعْمِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَ التُّقَى وَ الْعَفَافَ وَالْغِنَى نَاتِجَةً مِنْ صِيَامِنَا وَ اجْعَلْهُ شَافِعًا لَنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ دَوْلَةَ الْخِلاَفَةِ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ تُعِزُّ بِهَا اْلإِسْلاَمَ وَاَهْلَهُ وَتُذِلُّ بِهَا الْكُفْرَ وَاَهْلَهُ، وَ اجْعَلْناَ مِنَ الْعَامِلِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ بِإِقَامَتِهَا بِإِذْنِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أنْجِزْ لَنَا مَا وَعَدَنَا عَلَى رَسُوْلِكَ مِنْ عَوْدَةِ الْخِلاَفَةِ الرَّاشِدَةِ عَلَى مِنْهَاجِ نَبِيِّكَ، وَاجْعَلْنَا، وَذُرِيَّاتِنَا مِمَّنْ أَقَامَهَا بِأَيْدِيْنَا..
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا دُعَائَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَّسِيْنَآ أَوْ اَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَاِفِرِيْنَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَسُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركات

Kepribadian dan Karakteristik

Setiap orang pasti memiliki kepribadian dan karakteristik watak yang berbeda-beda.Terkadang ada orang yang kepribadiannya sangat disukai,dan ada pula yang tidak disukai.Berikut ini saya akan membahas 10 kualitas kepribadian yang paling disukai banyak orang.Check this out!!!

Ketulusan
Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati
Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kesetiaan
Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking
Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

Keceriaan
Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

Bertanggung jawab
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri
Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa
Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going
Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

Empati
Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.


Dan Sabar....
Setiap Tindakan, pasti membutuhkan sepenggal waktu tenggang antara pelaksanaan dengan hasilnya, sikap yang diperlukan untuk berlaku tenang dalam tenggang waktu itu adalah kekuatan yang biasanya kita sebut dengan kesabaran. Itu sebabnya setiap tindakan membutuhkan kesabaran untuk sampai pada saat dimana hasil itu tercapai.
Kesabaran adalah kekuatan untuk berlaku tenang dalam penantian. Itu berarti, siapapun yang bisa bersabar, haruslah dia mengetahui apa yang sedang ditunggunya. Dan untuk mengetahui apa yang ditunggunya, dia harus melakukan sesuatu dengan rencana untuk mencapai satu atau dua hal tertentu.