Abi Syaddad Blogspot

Pendidik, Pengajar dan Ilmu Pengetahuan

IDEALNYA setiap guru—dan setiap ustadz dan setiap dosen—tidak hanya mengajar pada waktu ia berdiri di depan kelas, tetapi juga mendidik.  Jadi di samping membimbing para siswa untuk menguasai sejumlah pengetahuan dan ketrampilan (mengajar), setogyanya guru juga membimbing siswa-siswanya mengembangkan segenap potensinya yang ada dalam diri mereka (mendidik).

    Masalahnya ialah bahwa mendidik ternyata tidak semudah mengajar.  Untuk dapat benar-benar mendidik, tidak cukup kalau guru hanya menguasai bahan pelajaran.  Ia harus tahu, nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada para siswa.  Guru harus tahu, sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan.  Dapatkah satu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada diri para siswa?  Dan kalau dapat, bagaimana caranya?

    Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang dipikirkan oleh setiap guru yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi perbuatan mendidik.  Dan ini bukan suatu hal yang mudah.  Inilah sebabnya, mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan diri mereka menjadi pendidik.  Mereka terpaku dalam melaksanakan aspek pengajaran dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari.  Dan kalau hal ini terjadi pada sebagian besar guru, maka hasil yang akan diperoleh ialah siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya.  Kalau ini sempat terjadi, maka kita menghadapi situasi yang cukup gawat.

    Ini semua tidak berarti, bahwa pekerjaan itu mudah.  Untuk dapat mengajar dengan baik diperlukan sikap tertentu.  Yaitu sikap gemar mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain.  Orang yang mudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.  Begitu juga orang yang selalu ingin menonjol, selalu ingin lebih tahu dari orang lain, juga tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.

    Di samping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk menjadi pengajar yang baik.  Antara lain ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematis, kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa.

    Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan ikhtiar dan waktu.  Tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh, akan mudah sekali bagi seorang guru untuk terjebak dalam perbuatan pamer pengetahuan ketika mereka berdiri di depan kelas.  Guru yang baik pun dapat sesekali terjatuh dalam kesalahan ini.  Ia sibuk di depan kelas, tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang diperlihatkan siswa-siswanya!  Menurut pengalaman saya, ini merupakan suatu hal yang mudah sekali terjadi dalam kehidupan seorang guru.

    Selama pamer pengetahuan ini terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya adalah kekaguman siswa, saya kira situasinya masih baik.  Tetapi apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan perbuatan yang disengaja, apabila guru memang sudah menyerah kepada keinginan untuk memamerkan kehebatan pengetahuannya, maka secara pedagogis yang kita hadapi ialah suatu situasi yang sangat tidak etis.  Yang kita hadapi dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa: kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka menghadapi guru.  Dalam hal ini dampak yang akan timbul bukan kekaguman, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru.  Sedihnya ialah bahwa nampaknya dalam masyarakat kita ada kelompok guru—atau ustadz atau dosen—yang justeru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa ini.  Ini sungguh suatu sikap yang tidak etis.  Menurut pendapat saya yang terjadi di sini bukan hanya suatu kesalahan pedagogis, melainkan suatu dosa pedagogis.

    Jadi apa yang perlu kita usahakan bersama ialah bahwa niat atau keinginan pamer pengetahuan ini benar-benar kita jauhkan dari diri kita semua.  Baik kita yang bekerja sebagai guru, ustadz, atau dosen, maupun kita yang berfungsi sebagai pembimbing di luar lingkungan pendidikan formal sebaiknya sama-sama berusaha untuk menjauhkan diri dari niat dan sikap pamer pengetahuan ini.  Hanyalah dengan sikap membimbing yang ikhlas, sikap membimbing yang sepi dari rasa ingin dikagumi, akan mungkin bagi guru untuk meningkatkan kegiatan pelayanannya ke taraf profesionalisme yang paling tinggi: mendidik.  Hanyalah dengan sikap seperti ini akan lahir tindakan mendidik yang jujur dan lurus, yang tidak membingungkan, tidak menakutkan dan tidak pula menyesatkan.

    Allahummaj’alnaa haadiina muhtadiin, ghaira dlalliinawalaa mudliiiin.  Ya Allah!  Jadikanlah kami pemimpin yang terpimpin, bukan yang sesat dan bukan pula yang menyesatkan.


Dikutip dari:
Mochtar Buchori, 1994.  Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan: dalam renungan.  Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya bekerjasama dengan IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. Halaman 30-32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar